22. Survival Of The Fittest

Di alam liar dimana berlaku hukum rimba, kekuatan dan kekuasaan sebagai pemilik wilayah buruan menjadi alat nomer satu untuk bertahan hidup (survival). Semua adu kekuatan dan konflik semata-mata muncul sebagai manifestasi dari keinginan untuk bertahan hidup. Survivalitas ini secara mendasar meliputi pula keterjaminan hidup dari generasi penerus dan keamanan klan.

Di era modern ini hukum rimba tetap berlaku dalam manifestasinya yang mungkin samar dan bentuknya sangat berbeda. Bila di alam liar hewan pemburu seperti singa memiliki kebiasaan menyembunyikan sisa hasil buruannya atau menyimpannya di tempat yang sulit dijangkau hewan lain maka di era modern perilaku ini dimanifestasikan dengan penimbunan harta kekayaan. Bila pada awalnya di alam liar penimbunan terjadi karena hewan buruan sedang langka maka di era modern penimbunan terjadi karena keserakahan, keinginan yang tak pernah terpuaskan akan pencarian materi. Seiring dengan semakin banyak harta yang dikumpulkan, maka demikian pula kekuatan dan pengaruhnya akan semakin menguat, karena sebagian besar manusia masih menganggap harta kekayaan sebagai sebuah bentuk kekuatan. Keinginan untuk menimbun kekuasaan ini secara intrinsink telah tertanam dalam perilaku manusia. Semua itu merupakan peninggalan dari naluri hewani kita yang menginginkan survivalitas. Menginginkan hidup terus. Kehendak untuk hidup.

Dengan pengertian tersebut maka bisa dipahami bahwa istilah “Harta, Tahta, Wanita”. Semata-mata hanyalah penghalusan dari penyimpangan naluri bertahan hidup manusia. Kehausan akan hidup, ketakutan akan kematian. Ketidak mampuan untuk mengendalikan nasib telah mengubah manusia menjadi makhluk bernaluri hewani.

Namun kembali ke awal; Salah satu pembeda manusia dan hewan adalah rasa malu.

Seekor singa yang menimbun hartanya berupa sisa daging buruan tidak merasa malu karena tidak ada norma yang berlaku. Demikian pula dengan seekor singa jantan yang mengambil beberapa singa betina milik singa lain (yang lemah) sebagai pasangannya tak akan terusik oleh rasa malu. Namun ketika manusia melakukan perbuatan yang merupakan padanan dari kelakuan singa tadi; menipu untuk mendapatkan keuntungan, menyerobot hak orang lain, merebut pasangan orang lain maka ia akan berhadapan dengan rasa malu. Rasa malu yang harus disikapinya atau ia akan gila. Bila ia memilih untuk menyembunyikan rasa malu tersebut berarti dia telah siap untuk hidup dalam jiwa yang sakit. Dia telah siap untuk menyediakan kuburan bagi rasa bersalah abadi dalam jiwanya.

Ketika seseorang telah menyadari bahwa hidup memang terbatas, dan bisa menerima fakta dirinya akan lenyap dari dunia ini setelah kematiannya, serta beberapa tahun kemudian tak ada lagi yang mengingatnya maka kedamaian akan datang dan menguatkan komitmennya untuk melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya di dalam hidupnya yang singkat ini. Bagi orang seperti itu semua kerja dan perjuangan dalam hidup bukan soal survivalitas lagi, namun lebih kepada bagaimana ia akan menempatkan dirinya dalam rantai kehidupan dunia ini.

Cukup = Kurang

Kebalikan dari kepribadian bersyukur adalah manusia yang terobsesi pada kekuatan-kekayaan. Orang jenis ini merasa eksis apabila dirinya memiliki sesuatu. Saat ia tidak memiliki sesuatu ia akan merasa tidak berarti sama sekali. Semakin banyak harta yang dikumpulkannya maka ia akan semakin merasa eksis. Apapun akan bisa dilakukan dengan materi, demikian yang ada dalam pikirannya. Ciri-ciri dari kepribadian seperti ini adalah :

  1. Menyelesaikan semua masalah dengan pendekatan materi. Semboyannya adalah “Semua bisa dibeli dengan uang”.
  2. Tidak pernah ada kata cukup. Saat ada kesempatan untuk memperoleh lebih banyak maka ia akan mengambilnya, demikian seterusnya. Tidak memiliki batas untuk merasa cukup. Sepanjang masih ada uang berceceran dijalan saya akan memungutnya, tidak peduli uang itu milik siapa.
  3. Ia hanya akan memberi bila ada gantinya. Donasi kepada yatim piatu diganti dengan publikasi kebaikan sehingga bisa mengesankan orang lain akan kedermawanannya.
  4. Memiliki keahlian manipulasi dan mempengaruhi orang secara emosional. Social hacking semata-mata untuk keuntungan pribadi. Empati  justru dipakai sebagai sarana menguasai orang lain.
  5. Kehilangan sebagian harta berarti kehilangan sebagian diri.
  6. Kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Entah bagaimana caranya.
  7. Menilai orang lain dari apa yang dimilikinya

Berbagai karakter itulah yang dalam pembahasan buku ini akan banyak dibahas. Untuk kembali kepada karakter manusia yang baik, jalan yang ditempuh sangatlah panjang. Namun saat kita telah berhasil melihat kilasan berbagai konsekuensi perbuatan kita maka hal itu tak bisa dibandingkan dengan apapun.