23. Mitos Manusia Sukses

Paradigma yang berlaku di masyarakat adalah “kaya-sukses-bahagia.” Namun sebelum membicarakan kesuksesan terlebih dahulu harus ada tolok ukur tentang bagaimanakah seseorang itu bisa disebut sukses. Pertama-tama yang saya paparkan sebagai sukses disini adalah sukses menurut sudut pAndang orang awam. Sukses menurut orang kebanyakan memiliki stAndar yang bervariasi namun pada intinya mengacu pada pemenuhan materi – jasmani.

Bagi kebanyakan orang, contoh sukses bisa digambarkan seperti :

  • Memiliki harta berlimpah, rutin pesiar keluar negeri, punya berderet-deret mobil mewah, waktu dihabiskan untuk berkumpul bersama orang sukses lainnya.
  • Memiliki usaha yang stabil, client terus bertambah, bisa membuka cabang usaha di berbagai tempat lainnya.
  • Diterima sebagai pegawai pemerintah (PNS) atau swasta dengan gaji besar, bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, memiliki usaha lain untuk menambah penghasilan agar semakin besar.
  • Memiliki penghasilan via sistim online, memiliki segudang server aktif yang terus melakukan transaksi otomatis dengan pasif income yang terus bertambah.
  • Mampu membuat penelitian spektakuler, bisa menjelaskan teori quantum yang belum bisa dijelaskan Einstein. Mendapat penghargaan di dunia ilmiah.
  • Memenangkan pemilihan sebagai ketua RT, meningkat menjadi anggota dewan, meningkat jadi menteri dan menuju pemilihan presiden.
  • Dan seterusnya, dan seterusnya

Sukses seperti itu bagi kebanyakan orang merupakan hal yang sangat diimpi-impikan. Seolah-olah tanpa adanya kesuksesan seperti itu seseorang tak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dalam pAndangan orang kebanyakan, mereka yang telah mencapai kesuksesan seperti itu adalah orang yang selalu bahagia dalam hidupnya. Apabila ada kesusahan itu hanyalah kesusahan yang tak berarti. Mereka yang memiliki kesuksesan hidup bagaikan orang yang telah hidup di sorga, dimana yang ada hanyalah rasa bahagia dan suka-cita.

Namun benarkah demikian ? Sayangnya tidak.

\"\"
Hubungan antara kekayaan dan kebahagiaan

Kebahagiaan dan rasa bahagia orang awam berasal dari kerja mekanistis berbagai hormon dan sistim saraf dalam tubuh. Hormon dan sistim kebahagiaan ini tidak berbeda sama sekali antara orang sukses dan orang yang tidak (belum) sukses. Artinya, untuk mencapai level kebahagiaan sebesar 90% orang sukses perlu mendapatkan kontrak sebesar 10 milyar, sedangkan bagi orang tidak sukses untuk mencapai level kebahagiaan yang sama hanya cukup dengan habisnya barang dagangan diborong orang dengan nilai sebesar 500 ribu rupiah. Masalah kebahagiaan itu bisa bertahan lama hanyalah masalah sikap terhadap kejadian yang dialami.

Bila orang sukses tadi setelah bahagia mendapatkan kontrak lalu tertarik untuk memenangkan tender berikutnya yang nilainya lebih besar, maka rasa bahagianya seketika akan hilang berganti pikiran yang was-was akan tender yang akan diikutinya. Kebahagiaan berganti menjadi obsesi, pengejaran akan kebahagiaan yang (menurut dia) lebih besar lagi.

Lain halnya dengan orang tidak sukses tadi, yang setelah dagangannya habis diborong ia membagikan kebahagiaannya dengan membelikan keluarganya baju baru, makanan yang enak (enak menurut dia), membagikan gula-gula ke anak-anak kecil tetangganya. Kebahagiannya akan berlangsung lebih lama daripada si orang sukses. Bahkan saat ia berdagang kembali esok harinya, menceritakan kejadian kemarin pada sesama teman pedagang sudah cukup untuk membangkitkan kebahagiannya kembali.

\"\"
Hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan UK dan US.

Jadi pendapat bahwa sukses itu identik dengan bahagia adalah sebuah ilusi konyol. Atau bahwa kesuksesan adalah jalan menuju kebahagiaan. Justru pada banyak kejadian, ada hal mengerikan yang bisa terjadi saat si orang sukses tanpa sadar mensubstitusi kebahagiannya dengan senses of belonging. Secara psikologis hal ini terjadi saat seseorang tidak bisa menemukan kebahagiaan dari “kesuksesan” yang diraihnya. Akibat dari hal ini adalah pengalihan bahwa kebahagiaan identik dengan pencapaian sukses yang lebih besar lagi. Demikian seterusnya. Efek dari pengalihan ini adalah kebahagiaan semu yang sebenarnya adalah kepuasan sementara saat seseorang mencapai sesuatu. Hal inilah yang menciptakan konsumtivisme global, yang saat ini justru menjadi semacam “terapi” bagi orang-orang sukses yang tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dengan kesuksesan mereka. Sebuah studi di Singapura tentang hal ini mempertegas bahwa pencarian mereka adalah kepuasan untuk memiliki obyek sebagai substitusi kebahagiaan.

Studi penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa belanja dapat dimanfaatkan untuk membangun identitas individu dan memberikan pengakuan sosial. Di Singapura, berbelanja, kegiatan yang terkait dengan materialisme, disebut hobi nasional. Namun, hanya sedikit studi penelitian yang membahas peran kebahagiaan dan materialisme dalam mencapai kepuasan hidup dibandingkan dengan negara-negara di barat. Studi ini menyelidiki apakah materialisme dan kebahagiaan membantu kepuasan hidup di Singapura. Skala Materialisme Baru digunakan untuk melakukan pemahaman materialisme yang lebih holistik, karena skala yang digunakan dalam studi sebelumnya belum berhasil menjelaskan perilaku konsumen dalam beberapa tahun terakhir. Untuk studi ini, 128 mahasiswa Singapura (69,5% perempuan; 30,5% laki-laki) dengan usia rata-rata 21,82 tahun (SD = 2,17; kisaran usia 18-30), terdaftar dalam program Psikologi dan Bisnis di James Cook University, Singapura, direkrut. Hasil menunjukkan bahwa siswa antara 18 dan 30 menghubungkan kekhasan materi secara positif dengan kepuasan hidup; responden laki-laki sama materialistisnya dengan responden perempuan; kesuksesan materi sebagian besar terkait dengan siswa Cina; kekhasan material terkait dengan siswa India, sementara tingkat kebahagiaan memoderasi tingkat materialisme dan kepuasan hidup. Implikasi penting dari penelitian ini adalah temuan bahwa ada lebih banyak materialisme dalam kaitannya dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan di antara orang Singapura. (The Journal of  Happiness & Well-Being, 2015, 3(1), 77-92)

Demikianlah yang terjadi apabila kebahagiaan sudah digantikan dengan kepuasan materi. Bahkan hubungan antar manusia pun sudah berganti. Semua diukur dengan kepemilikan materi yang dimiliki seseorang.