33. Kematian Nalar Otak Radikalis

Dalam sebuah penelitian untuk mempelajari hubungan antara pola-pola kesadaran, aktivitas otak dengan kecenderungan seseorang untuk bersikap radikal, didapatkan hasil akhir yang cukup mengejutkan. Penelitian ini menggunakan pemindaian otak dengan menggunakan alat yang disebut pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) yang merekam dan mengidentifikasi area otak mana yang aktif selama tugas tertentu. Penelitian dengan fMRI ini bermaksud mengeksplorasi apa yang bisa membuat nilai-nilai umum duniawi menjadi lebih seperti nilai-nilai suci.

Peserta dalam penelitian ini adalah 38 orang yang secara terbuka mengatakan mereka akan terlibat dalam aksi kekerasan untuk membela tujuan agama. Peserta dibagi menjadi dua bagian antara yang mengikuti simulasi komputer dan yang dikecualikan tidak mengikuti simulasi. Penelitian mengukur kesediaan mereka untuk berjuang dan mati untuk nilai-nilai suci mereka (misalnya, melarang kartun para nabi, melarang pernikahan gay) dan mereka yang penting tetapi tidak sakral. nilai-nilai (wanita mengenakan niqab, ajaran Islam di sekolah) yang dipastikan sebelumnya dalam survei.

Peserta menilai kesediaan yang lebih tinggi untuk bertarung dan mati demi nilai-nilai suci daripada nilai duniawi. Secara neurologis, nilai kesucian diaktifkan oleh girus frontal inferior kiri (IFG) – area yang terkait dengan pemrosesan aturan dan sebelumnya berkorelasi dengan nilai sakral. Tetapi mereka yang dikecualikan meningkatkan kesediaan mereka untuk berjuang dan mati untuk nilai-nilai duniawi mereka, dan IFG kiri menjadi diaktifkan bahkan selama pemrosesan nilai non-sakral.

Peserta yang dikecualikan secara sosial menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi di bagian otak yang terkait dengan pemrosesan aturan.

\"\"

Mereka menunjukkan aktivitas IFG kiri yang lebih tinggi – area otak yang terkait dengan pemrosesan aturan dibandingkan peserta yang tidak dikecualikan. Aktivitas IFG kiri sama tinggi untuk SV di kedua kelompok.

Dengan kata lain, pengucilan sosial membuat nilai-nilai non-suci lebih mirip dengan nilai-nilai suci. Ini adalah perubahan yang mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa pengucilan sosial berkontribusi membuat sikap kurang dapat dinegosiasikan dan meningkatkan kecenderungan terhadap kekerasan.

Sangat radikal

Penelitian kedua bermaksud mengupayakan menarik orang yang sangat radikal kembali dari nilai-nilai kekerasan. Peserta yang direkrut sebanyak 30 orang yang secara eksplisit mendukung Terorisme. Peserta ini lebih teradikalisasi daripada peserta penelitian sebelumnya.

Pada bagian pertama penelitian, mereka dipindai sementara peringkat kesediaan mereka untuk berjuang dan mati untuk nilai-nilai suci dan non-suci mereka. Peserta ini menunjukkan pola aktivitas saraf yang berbeda dari peserta penelitian pertama.

Ketika orang-orang yang sangat teradikalisasi menilai nilai-nilai suci mereka, ada penonaktifan dalam sebuah jaringan yang mencakup korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC), bagian otak yang dikaitkan dengan penalaran yang disengaja dan mengintegrasikan perhitungan keuntungan-manfaat.

\"\"
\"\"

Ketika mereka menilai keinginan yang tinggi untuk berjuang dan mati untuk nilai-nilai mereka, ditemukan peningkatan aktivasi di korteks prefrontal ventromedial (vmPFC), bagian dari otak yang terkait dengan penilaian subyektif (berapa banyak nilai ini bagi saya?). Dalam kehidupan sehari-hari, DLPFC dan vmPFC bekerja bersama saat membuat keputusan.

Fakta yang ironis dari hasil penelitian ini adalah bahwa para pelaku kekerasan atas nama agama atau para teroris ternyata mematikan bagian terpenting dari fitrah manusia yaitu “Penalaran.” dan mengaktifkan bagian otak yang hanya menghitung untung rugi – apa yang bisa saya dapatkan, secara egois.  Dengan kalimat lain mereka adalah orang-orang sangat egois yang tega membunuh nalar dan sesama manusia demi kenikmatan diri sendiri (sorga) dengan dalih membela agama. Padahal dalam Islam disebutkan dalam hadis ; Agama itu nalar, tidak ada agama bagi yang tidak punya nalar (ad-din ‘aqlun, la dina liman la ‘aqla lah). Porsi akal dan nalar penting sekali dalam Islam. Bahkan salah satu tujuan syari’ah adalah melindungi akal (hifdzul ‘aql).

\"\"

Diagram menunjukkan hilangnya pemrosesan dengan penalaran.

Sebuah analisis lanjutan menemukan bahwa kedua wilayah otak ini sangat terhubung ketika partisipan menilai kemauan rendah untuk bertarung dan mati, yaitu nilai subjektif diatur oleh mekanisme kontrol keputusan. Tetapi ketika mereka menilai kesediaan yang tinggi untuk bertarung dan mati, data menunjukkan bahwa kedua wilayah ini lebih terputus. Ini menunjukkan bahwa, ketika seseorang siap untuk membunuh dan dibunuh untuk membela sebuah ide, mereka tidak lagi menggunakan mekanisme kontrol keputusan yang biasanya terlibat dalam penalaran yang disengaja.

Mereka pada dasarnya melepaskan bagian otak mereka ini. Namun, kesediaan mereka untuk bertarung dan mati semakin rendah saat daerah penilaian deliberatif dan subyektif mereka terhubung kembali. Jadi mekanisme apa yang membawa orang untuk menurunkan kesediaan mereka untuk bertarung dan mati demi suatu alasan?

Di bagian kedua penelitian, saat masih dalam pemindai, para peserta ditunjukkan setiap nilai lagi dengan peringkat asli mereka sendiri, tetapi kali ini mereka dapat menekan tombol untuk melihat kesediaan rata-rata untuk bertarung dan mati di peringkat rekan-rekan mereka. Apa yang mereka tidak katakan adalah bahwa peringkat rata-rata ini adalah penemuan dan dibagi secara merata antara peringkat yang lebih rendah, sama, atau lebih tinggi untuk dijadikan manipulasi eksperimental.

Ketika mereka keluar dari pemindai, mereka menilai kesediaan mereka untuk berjuang dan mati untuk setiap nilai lagi. Dalam wawancara dan survei pasca-pemindaian, para peserta menyatakan bahwa mereka terkejut dan bahkan marah ketika rekan-rekan mereka tidak mau terlibat dalam kekerasan seperti mereka.

Meskipun demikian, ditemukan bahwa orang-orang menurunkan kesediaan mereka untuk bertarung dan mati demi nilai-nilai suci dan non-sakral agar sesuai dengan respons rekan-rekan mereka. Perubahan ini berkorelasi dengan peningkatan aktivasi DLPFC di otak. Jalur deliberatif mereka dibuka kembali.

Beragama Dengan Nalar Dan Akhlak

Dewasa ini semakin terlihat banyak orang membuang nalar dalam kehidupan beragama mereka. Semakin banyak orang membicarakan dalil, namun mereka membuang nalar dalam memahami dalil. Banyak orang ingin menerapkan aturan syariah, tetapi mereka melupakan nalar syariah. Bila dirunut tujuan syariah adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Peningkatan akhlak merupakan tujuan utama Nabi SAW. sebagaimana bunyi hadis:

إنما بعثت لاتمم مكارم الأخلاق

Menurut ilmu nahwu, innama adalah adatul hasr, artinya “hanya.” Terjemahnya: “Aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Hal ini jelas menyebutkan bahwa semua hal selain akhlak, dikecualikan dari misi Kenabian. Mafhum muwafaqah-nya, penerapan hukum syariah yang tidak bermuara pada penyempurnaan akhlak bukan bagian dari misi Nabi SAW.

Saat ini banyak gerakan bicara tentang syariah dan isu penegakannya. Berbagai ceramah dan khutbah sibuk sekali dengan isu halal – haram, seperti haram mengucapkan selamat Natal dan haram mengenakan atribut natal. Pelajaran akhlak kasih sayang Nabi SAW. kepada keluarga, sahabat, dan musuh-musuhnya atau orang yang secara sepihak memusuhi Nabi SAW. mulai ditinggalkan.

Setiap kali akan melakukan sesuatu seorang muslim pasti mengawalinya dengan “Bismillahirrahmanirrahim.” Artinya, setiap perbuatan baik harus mengusung misi kasih-sayang, bukan murka dan kekerasan. Penegakan hukum atau syariah yang tidak bermuara pada penyempurnaan akhlak bukanlah bagian dari misi profetik Nabi SAW. Kita bisa meragukan klaim penegakan syariah yang tidak tercermin dalam akhlak pengusungnya.  Jika kita bicara syariah tetapi perangai kita buruk, menyebabkan orang lain tidak nyaman, itu bukan hanya bertentangan dengan misi Nabi tetapi justeru merusak agama itu sendiri. Pendidikan seharusnya fokus pada penalaran dan akhlak yang baik sebelum mengajari berhukum tentang halal dan haram.